Hari kedua ini berbeda dengan hari pertama yang kerjaannya belanja (walaupun ada belanjanya juga sih :D). Rencana awal kami adalah:
- Mengunjungi Wat Pho dengan menumpangi perahu dari pier terdekat dengan penginapan.
- Makan siang di Khao San road.
- Mengunjungi Siriraj Medical Museum.
- Mengunjungi Wat Arun untuk hunting foto sunset.
- Dan terakhir, makan malam di Asiatique Riverfront sekalian nongkrong-nongkrong gaul :D
Waktu menunjukan pukul 07.00, sebagian dari kami pun sudah terbangun. Kaki mulai terasa pegal karena perjalanan beberapa kilometer kemarin, tapi hal tersebut tidak mematahkan semangat kami untuk mengunjungi tempat-tempat authentic di Bangkok. Setelah bersiap-siap, akhirnya kami berangkat sekitar pukul 10 pagi. Kami harus berjalan sekitar 1 km menuju pier terdekat yaitu Wat Muang Kae. Setelah jalan sekitar 20 menit, kami pun sampai di pier tersebut. Kami langsung menanyakan harga untuk ke pier Tha Tien, pier terdekat dengan Wat Pho. Sang pemilik perahu menawarkan THB 200 per orang. Kami pun kaget karena dari hasil riset sebelumnya, harga tiket untuk turis hanya THB 40. Setelah berdiskusi dengan sang pemilik perahu, kami pun mendapatkan kejelasan bahwa di pier tersebut, tidak ada perahu publik dan hanya ada perahu private. Wajar saja harganya pun lebih mahal dari tiket perahu publik.
Harga yang terlalu mahal untuk kami pun membuat transaksi tersebut dibatalkan. Saya sempat menanyakan kepada pemilik perahu tentang perahu publik dengan harga yang lebih murah. Dengan polos, dia menunjukan pier Si Phraya yang terletak di sebelah pier Wat Muang Kae. Jujur saya kaget dengan sang pemilik perahu karena dia melakukan hal tersebut setelah saya tolak tawaran darinya. Sebagai patokan, sewaktu saya berada di Hyderabad, India; jangankan memberikan jawaban yang benar tentang pertanyaan saya setelah ditolak tawarannya; tawaran diterima pun kadang tidak sesuai dengan apa yang disepakati. Makanya saya kaget, masyarakat Thailand, khususnya Bangkok; sangatlah ramah walaupun ada juga yang menolak jika ditanya terkait keterbatasan bahasa inggris mereka.
Khao San road
Sekitar pukul setengah 11 siang, kami pun melanjutkan perjalanan kami menuju pier yang ditunjukan oleh sang pemilik perahu tadi. Dalam perjalanan menuju kesana, kami didatangi oleh seorang lokal yang cukup fasih berbahasa inggris. Seorang pria sekitar paruh baya yang percaya diri dan khas dalam berbicara. Dia menanyakan tujuan kami dan kami pun memberikan informasi bahwa kami akan mengunjungi Wat Pho. Dia mengatakan bahwa kami tidak bisa mengunjungi Wat Pho pada pukul 11-an karena para Bikshu beristirahat terlebih dahulu sampai pukul 1 siang. Walaupun kami kurang mempercayai perkataan pria tersebut, tapi kami tetap mengikuti apa yang dikatakan oleh dia karena kami tidak mau perjalanan ini menjadi sia-sia hanya karena ketidakpercayaan kami. Terpaksa kami pun harus merubah rencana perjalanan kami. Perjalanan menuju Wat Pho pun dirubah menjadi menuju Khao San road dengan tujuan makan siang disana. Sesampainya pier Si Phraya, kami langsung membeli tiket perahu menuju pier Phra Arthit yang berada sekitar 1 km dari Khao San road. Ketika ditanya harga perorangnya, saya pun terkejut dengan harga yang diberikan oleh petugasnya. Perjalanan dengan jarak tempuh sekitar 15-20 menit hanya THB 16/orang (Kalo kita bulatkan kurs rupiahnya menjadi IDR 400, hanya sekitar 6400 rupiah/orang!!). Perasaan kami kaget sekaligus senang mendengar harga tersebut.
Setelah menunggu sekitar 5 menit, perahu kami tiba. Dengan ganasnya perahu yang akan kami tumpangi berhenti untuk mengangkut kami. Seorang kenek perempuan memberitahu kami menggunakan bahasa Thailand dengan lantang. Kami pun langsung menaiki perahu tersebut. Sekitar 15-20 menit sesuai dengan yang diprediksikan, kami sampai di pier “Phra Arthit”. Sebelum melanjutkan perjalanan, kami menyempatkan diri untuk berfoto di sekitar pier tersebut. Kebetulan ada satu obyek yang bagus untuk dijadikan background untuk berfoto. Setelah kami puas, barulah kami berjalan kaki menuju Khao San road yang berjarak sekitar 1 km dari pier. Panas yang cukup terik kami lewati dengan semangat. Kami juga melewati suatu kawasan yang ramai oleh para turis yang sedang bersantai di cafe-cafe yang berjejeran sepanjang jalan. Keramaian turis tersebut menandakan bahwa tujuan kami sudah dekat. Tidak sampai 15 menit, kami pun sampai di Khao San road. Jalanan terkenal tersebut terlihat sepi. Kami menanyakan kepada orang lokal sekitar. Seorang supir tuk-tuk (bajai) menjadi sasaran bertanya kami. Dia memberitahu kami bahwa Khao San road tutup pada hari senin. Saya pribadi kurang bisa mempercayai perkataan bapak tersebut (lagi) karena saya memang orang yang kurang mudah untuk mempercayai perkataan orang lain. Saya melihat-lihat tempat sekitar Khao San road. Beberapa tempat terutama restoran memang terlihat sepi dari pengunjung dan memang terlihat seperti tidak sedang berjualan. Hati saya mulai mempercayai perkataan bapak tadi. Waktu terus berjalan, matahari semakin terik dan membuat perut kami berbunyi. Tujuan awal kami untuk mencari makan di Khao San road pun semakin sulit untuk terealisasi. Saya sendiri menawarkan alternatif untuk makan di kawasan turis yang kami lewati tadi, tapi beberapa dari kami sudah tidak kuat untuk berjalan lagi karena belum makan seharian. Akhirnya, kami pun memutuskan untuk makan di McD yang memang buka 24 jam. Kami memesan makanan yang memang tidak ada di McD Indonesia untuk sedikit mengobati kekecewaan kami.
Wat Pho
Setelah selesai makan siang di McD, awalnya kami berencana mengunjungi Siriraj Medical Museum, sebuah museum yang berisi tubuh atau bagian tubuh manusia yang diawetkan. Rencana tersebut kami batalkan karena beberapa pertimbangan seperti berikut:
- Tiket masuk ke Siriraj Medical Museum adalah THB 100 per orang, sedangkan uang kami sudah hampir habis karena kekeliruan prediksi pengeluaran.
- Untuk mencapai ke tempat tersebut, kami harus menyebrangi sungai Chao Phraya yang memang cukup besar. Apabila kami berjalan kaki, waktu dan tenaga kami habis. Apabila kami naik tuk-tuk, ada biaya tambahan yang dikeluarkan dan harga yang ditawarkan kepada kami cukup tinggi.
- Saat itu menunjukan pukul 1-2 siang, sedangkan kami masih memiliki 3 destinasi yang belum berhasil dikunjungi. Kami lebih memilih untuk mengunjungi temple daripada museum karena Bangkok memang terkenal dengan templenya.
Maka dari itu, kami langsung melanjutkan perjalanan menuju Wat Pho yang berjarak sekitar 1.4 km. Awalnya kami berjalan kaki sampai hampir setengah perjalanan, tapi karena terasa jauh dan panas, kami akhirnya memutuskan untuk naik tuk-tuk. Ada 2 tuk-tuk yang kami temui. Pertama, supir tuk-tuk menawarkan harga yang menurut kami berlebihan. Dia menawarkan harga THB 500 untuk perjalanan ke Wat Pho yang dimana hanya tinggal sekitar 1 km kurang. Sedangakan, supir tuk-tuk kedua hanya memberikan harga THB 100 dan otomatis kami langsung menyetujuinya. Ada satu hal yang menurut saya lucu. Ketika kami sampai di Wat Pho, kebetulan kami tidak memiliki pecahan uang kecil. Kami memberikan uang THB 1000 dan menanyakan apakah si supir memiliki kembalian. Si supir pun menjawab dengan bahasa Thailand yang kami sama sekali tidak mengerti, tapi dari gesturnya, si supir sepertinya tidak memiliki kembalian. Ketika kami sedang mencari ide, si supir tuk-tuk memberitahu kami satu kata yang pelafalannya cukup aneh di telinga kami sambil menunjuk ke arah depan. Kami pun menebak-nebak kata tersebut sampai akhirnya kami mengetahui apa yang dia maksud. Ternyata yang dia maksud adalah "sevel/seven eleven". Dia meminta kami untuk menukarkan uang di sevel, tapi sewaktu saya mau berjalan ke arah yang dia tunjuk, saya sama sekali tidak melihat adanya sevel di depan. Kami kembali bingung sampai kami mengganti ide menjadi membayarkan tiket masuk ke Wat Pho terlebih dahulu, baru kembaliannya kami bayarkan ke si supir tuk-tuk. Sewaktu kami mau turun dan masuk untuk membeli tiket, si supir terlihat marah sambil mengatakan kata-kata yang kami tidak mengerti (lagi). Dia mengeluarkan uang yang dia punya. Dia mencoba memberitahu kami, "Saya tidak ada kembalian, kalo mau kembaliannya kurang silakan ambil saja". Lalu kami mencoba untuk menjelaskan ide kami tapi dia tidak mau menerimanya dan hanya mau kami untuk mengikuti ide dia sambil menyuruh kami untuk masuk ke dalam tuk-tuknya. Kami pun mengikuti apa yang dia coba katakan. Ternyata dia mengantarkan kami ke sevel yang terdekat. Letak sevel tersebut memang tidak terlihat dari posisi kami sebelumnya karena memang berjarak sekitar 100-200 m dan harus belok dulu. Saya pun langsung turun menukarkan uang dan kembali kepada si supir tuk-tuk. Dia masih terlihat kesal sambil menggerutu. Saya memberi dia uangnya dan mengatakan dengan bahasa Indonesia sambil tersenyum "Terima kasih bapak lucu". Kejadian tadi pun membuat kami semua tertawa dan sedikit menghibur kami pada hari itu.
Kami memasuki Wat Pho dengan membayar THB 100 per orangnya. Sejarah Wat Pho tertulis di beberapa tempat disana. Pada awalnya kami tidak tahu apa-apa tentang Wat Pho. Kami hanya ingin mengunjungi tempat wisata di Bangkok yang cukup terkenal ini. Dikarenakan keterbatasan pengetahuan kami tentang tempat wisata tersebut, maka kami hanya mengikuti arus para turis berjalan. Salah satu ruangan yang dipadati oleh arus para turis adalah sebuah ruangan panjang sekitar 50-60 meter yang dapat disimpulkan adalah ruangan wisata utama karena paling ramai arusnya. Sewaktu memasuki ruangan tersebut, kami diberitahu oleh petugas disana agar membuka sepatu dan berpakaian sopan terutama untuk wanita agar tidak memakai hot pant atau short. Begitu masuk, kami semua terkejut karena kami baru menyadari bahwa yang berada di dalam ruangan sepanjang 50-60 meter tersebut adalah patung Buddha berbaring raksasa yang terbuat dari emas dan panjangnya sekitar 40 meter. Kami tidak ingin ketinggalan untuk mengambil foto dan video dengan patung tersebut. Salah satu patung Buddha terbesar yang pernah saya kunjungi. Kami menghabiskan waktu sekitar 20-30 menit di dalam ruangan tersebut.
Setelah puas menikmati patung Buddha raksasa, kami mengunjungi daerah lain di kawasan Wat Pho. Ada satu hal yang menarik lagi selain patung Buddha raksasa. Sewaktu kami menuju bagian belakang dari kawasan Wat Pho, kami menemukan sebuah vihara yang tentu saja masih aktif tapi banyak sekali turis yang masuk dan duduk merenung. Saya pribadi sempat bingung karena saya kira para turis tersebut masuk ke vihara tersebut untuk berdoa. Ketika saya perhatikan lagi di dalam vihara, ternyata mereka hanya duduk diam sambil melihat ke arah depan dimana terdapat patung Buddha emas sedang duduk menghadap ke arah mereka. Mungkin saja mereka sedang merenung atau mendapatkan ketenangan hati disana. Who knows.
Waktu menunjukan pukul 4-5 sore. Beberapa diantara kami sudah terlihat kelelahan. Rencana awal kami adalah berburu sunset di temple Wat Arun. Sebenarnya Wat Arun sangat dekat dengan Wat Pho karena hanya berjarak 850 meter dan hanya perlu menaiki perahu untuk menyebrangi sungai Chao Phraya tapi kami terpaksa membatalkan rencana tersebut karena kami sudah cukup kelelahan dan sudah LAPAR. Hahaha.... Jadi, kami langsung menuju tujuan terakhir kami di hari tersebut yaitu Asiatique Riverfront dengan menggunakan perahu menuju pier Wat Rajsingkorn.
Asiatique Riverfront
Sebelumnya kami mengira bahwa Asiatique Riverfront ini mirip dengan Clarke Quay di Singapura, tempat orang-orang nongkrong, menikmati makanan dan minuman di cafe-cafe yang tersedia. Setelah kami sampai di tempatnya, perkiraan kami sedikit melenceng. Asiatique Riverfront lebih menyerupai perpaduan antara Paris Van Java, Bandung dan Dufan, Jakarta. Selain terdapat cafe, di tempat ini juga terdapat area perbelanjaan layaknya PVJ dan area bermain seperti gokart dan kincir angin layaknya Dufan. Tempat ini memiliki 9 warehouse (sebutan untuk area). Setiap warehouse memiliki jenis jualan yang berbeda. Dimulai dari restoran sampai jualan aksesoris memiliki warehouse-nya masing-masing.
Sesaat setelah sampai di tempat ini, kami memiliki ide untuk membuat sebuah video dance di area umum. Tempat ini adalah salah satu tempat ideal untuk membuat video di tempat umum karena selain pemandangannya yang bagus, di tempat ini pun banyak turis yang berlalu-lalang maupun berfoto-foto. Tidak lama kemudian, dimulailah pengambilan video kami. Beberapa take sudah kami lakukan, tapi masih saja ada yang kurang sempurna karena ada beberapa gerakan yang lupa. Banyak turis yang menonton kami. Kami tidak menyerah sampai akhirnya pada take ke sekian belas, kami diberhentikan oleh petugas setempat. Kami dilarang untuk mengambil video di area tersebut. Kami menanyakan alasannya tapi si petugas tidak mengerti bahasa inggris. Mereka hanya bisa menggunakan bahasa Thailand dan juga bahasa tubuh. Setelah kami terus menanyakan alasannya, akhirnya dia mengeluarkan smartphone dan memperlihatkan suatu peringatan dalam tulisan Thailand campur angka yang mungkin kurang lebih berbunyi seperti ini "Dilarang mengambil video di area ini. Bagi yang melanggar, akan didenda sebesar USD 5000." Setelah melihat peringatan tersebut, barulah kami mengetahui bahwa ada peraturan tertulis dan kami pun mengerti kenapa tidak boleh mengambil video di area tersebut. Kami akhirnya menghentikan aktivitas pengambilan video di area itu dan memutuskan untuk mencari tempat makan.
Bingung memilih makan dimana, kami memutuskan untuk melakukan survey dari tempat makan satu ke tempat makan lainnya dengan melihat menu yang ditawarkan dan harga tentunya. Setelah sekitar 15 menit kami survey, akhirnya kami memutuskan untuk makan di "Wild Orchid restaurant". Salah satu daya tarik restoran tersebut adalah memiliki pelayan yang sangat antusias, bersemangat, baik, dan lucu (dalam artian sebenarnya). Ada beberapa makanan yang kami masih penasaran untuk mencobanya. Salah satunya adalah Pad Thai. Sebenarnya kami sudah mencoba Pad Thai kemarin, tapi rasa dan harganya sangat mengecewakan. Rasanya sangat biasa atau bisa dibilang hambar dan harganya cukup mahal. Selain Pad Thai, kami juga memesan TomYum dan Mapo Tofu.
5 menit berlalu dan makanan akhirnya datang semua. Kami sudah sangat tidak sabar untuk mencobanya. Begitu kami mencoba hidangan yang sudah disajikan oleh pelayan, kami pun sangat terhanyut dalam rasa yang begitu lezat (serius enak banget!!). Tidak ada satupun hidangan yang tidak enak. Harganya juga lebih murah daripada harga makan di pinggir jalan kemarin.
Setelah kenyang, kami berkeliling di sekitar Asiatique Riverfront. Kami menemukan satu tempat seperti swalayan kecil yang menjual snack atau oleh-oleh khas Bangkok dengan harga yang lebih murah dari yang pernah kami lihat sebelumnya. So, of course we SHOP again!! Kami membeli snack sebanyak 1 kantung kresek besar dan 1 kantung kresek kecil. Snack toast bread rasa tomyum hanya seharga THB 30 (which is +- IDR 12.000) dan snack durian kering (250 gr) seharga THB 250 (+- IDR 100.000). Untuk snack durian memang cukup mahal dimana-mana, but it's worth it because I love Durian very much!! Selain belanja oleh-oleh, sebagian dari kami juga belanja baju dan celana.
Setelah puas dengan makan dan belanja, kami pulang dengan menggunakan Uber. Harga Uber disana memang hampir sama dengan harga Uber di Indonesia. Hanya beda mata uang saja. Perjalanan hari kedua pun selesai walaupun tidak semua rencana berjalan dengan baik. Satu hal yang membuat kami senang adalah bukan tentang seberapa banyak tempat di dalam rencana yang berhasil kami kunjungi, tapi seberapa mengasyikan aktivitas yang kami lakukan bersama disana. So, see ya on the third day in Bangkok!!
- Mengunjungi Wat Pho dengan menumpangi perahu dari pier terdekat dengan penginapan.
- Makan siang di Khao San road.
- Mengunjungi Siriraj Medical Museum.
- Mengunjungi Wat Arun untuk hunting foto sunset.
- Dan terakhir, makan malam di Asiatique Riverfront sekalian nongkrong-nongkrong gaul :D
We are ready! |
Jalan menuju pier. |
Khao San road
Sekitar pukul setengah 11 siang, kami pun melanjutkan perjalanan kami menuju pier yang ditunjukan oleh sang pemilik perahu tadi. Dalam perjalanan menuju kesana, kami didatangi oleh seorang lokal yang cukup fasih berbahasa inggris. Seorang pria sekitar paruh baya yang percaya diri dan khas dalam berbicara. Dia menanyakan tujuan kami dan kami pun memberikan informasi bahwa kami akan mengunjungi Wat Pho. Dia mengatakan bahwa kami tidak bisa mengunjungi Wat Pho pada pukul 11-an karena para Bikshu beristirahat terlebih dahulu sampai pukul 1 siang. Walaupun kami kurang mempercayai perkataan pria tersebut, tapi kami tetap mengikuti apa yang dikatakan oleh dia karena kami tidak mau perjalanan ini menjadi sia-sia hanya karena ketidakpercayaan kami. Terpaksa kami pun harus merubah rencana perjalanan kami. Perjalanan menuju Wat Pho pun dirubah menjadi menuju Khao San road dengan tujuan makan siang disana. Sesampainya pier Si Phraya, kami langsung membeli tiket perahu menuju pier Phra Arthit yang berada sekitar 1 km dari Khao San road. Ketika ditanya harga perorangnya, saya pun terkejut dengan harga yang diberikan oleh petugasnya. Perjalanan dengan jarak tempuh sekitar 15-20 menit hanya THB 16/orang (Kalo kita bulatkan kurs rupiahnya menjadi IDR 400, hanya sekitar 6400 rupiah/orang!!). Perasaan kami kaget sekaligus senang mendengar harga tersebut.
Setelah menunggu sekitar 5 menit, perahu kami tiba. Dengan ganasnya perahu yang akan kami tumpangi berhenti untuk mengangkut kami. Seorang kenek perempuan memberitahu kami menggunakan bahasa Thailand dengan lantang. Kami pun langsung menaiki perahu tersebut. Sekitar 15-20 menit sesuai dengan yang diprediksikan, kami sampai di pier “Phra Arthit”. Sebelum melanjutkan perjalanan, kami menyempatkan diri untuk berfoto di sekitar pier tersebut. Kebetulan ada satu obyek yang bagus untuk dijadikan background untuk berfoto. Setelah kami puas, barulah kami berjalan kaki menuju Khao San road yang berjarak sekitar 1 km dari pier. Panas yang cukup terik kami lewati dengan semangat. Kami juga melewati suatu kawasan yang ramai oleh para turis yang sedang bersantai di cafe-cafe yang berjejeran sepanjang jalan. Keramaian turis tersebut menandakan bahwa tujuan kami sudah dekat. Tidak sampai 15 menit, kami pun sampai di Khao San road. Jalanan terkenal tersebut terlihat sepi. Kami menanyakan kepada orang lokal sekitar. Seorang supir tuk-tuk (bajai) menjadi sasaran bertanya kami. Dia memberitahu kami bahwa Khao San road tutup pada hari senin. Saya pribadi kurang bisa mempercayai perkataan bapak tersebut (lagi) karena saya memang orang yang kurang mudah untuk mempercayai perkataan orang lain. Saya melihat-lihat tempat sekitar Khao San road. Beberapa tempat terutama restoran memang terlihat sepi dari pengunjung dan memang terlihat seperti tidak sedang berjualan. Hati saya mulai mempercayai perkataan bapak tadi. Waktu terus berjalan, matahari semakin terik dan membuat perut kami berbunyi. Tujuan awal kami untuk mencari makan di Khao San road pun semakin sulit untuk terealisasi. Saya sendiri menawarkan alternatif untuk makan di kawasan turis yang kami lewati tadi, tapi beberapa dari kami sudah tidak kuat untuk berjalan lagi karena belum makan seharian. Akhirnya, kami pun memutuskan untuk makan di McD yang memang buka 24 jam. Kami memesan makanan yang memang tidak ada di McD Indonesia untuk sedikit mengobati kekecewaan kami.
Riding a big boat!! |
Menggila di pier Phra Arthit |
Obyeknya mirip dengan Monas :D |
Khao San road di siang hari |
Salah satu menu yang beda dengan McD Indonesia Hahah... |
Setelah selesai makan siang di McD, awalnya kami berencana mengunjungi Siriraj Medical Museum, sebuah museum yang berisi tubuh atau bagian tubuh manusia yang diawetkan. Rencana tersebut kami batalkan karena beberapa pertimbangan seperti berikut:
- Tiket masuk ke Siriraj Medical Museum adalah THB 100 per orang, sedangkan uang kami sudah hampir habis karena kekeliruan prediksi pengeluaran.
- Untuk mencapai ke tempat tersebut, kami harus menyebrangi sungai Chao Phraya yang memang cukup besar. Apabila kami berjalan kaki, waktu dan tenaga kami habis. Apabila kami naik tuk-tuk, ada biaya tambahan yang dikeluarkan dan harga yang ditawarkan kepada kami cukup tinggi.
- Saat itu menunjukan pukul 1-2 siang, sedangkan kami masih memiliki 3 destinasi yang belum berhasil dikunjungi. Kami lebih memilih untuk mengunjungi temple daripada museum karena Bangkok memang terkenal dengan templenya.
Maka dari itu, kami langsung melanjutkan perjalanan menuju Wat Pho yang berjarak sekitar 1.4 km. Awalnya kami berjalan kaki sampai hampir setengah perjalanan, tapi karena terasa jauh dan panas, kami akhirnya memutuskan untuk naik tuk-tuk. Ada 2 tuk-tuk yang kami temui. Pertama, supir tuk-tuk menawarkan harga yang menurut kami berlebihan. Dia menawarkan harga THB 500 untuk perjalanan ke Wat Pho yang dimana hanya tinggal sekitar 1 km kurang. Sedangakan, supir tuk-tuk kedua hanya memberikan harga THB 100 dan otomatis kami langsung menyetujuinya. Ada satu hal yang menurut saya lucu. Ketika kami sampai di Wat Pho, kebetulan kami tidak memiliki pecahan uang kecil. Kami memberikan uang THB 1000 dan menanyakan apakah si supir memiliki kembalian. Si supir pun menjawab dengan bahasa Thailand yang kami sama sekali tidak mengerti, tapi dari gesturnya, si supir sepertinya tidak memiliki kembalian. Ketika kami sedang mencari ide, si supir tuk-tuk memberitahu kami satu kata yang pelafalannya cukup aneh di telinga kami sambil menunjuk ke arah depan. Kami pun menebak-nebak kata tersebut sampai akhirnya kami mengetahui apa yang dia maksud. Ternyata yang dia maksud adalah "sevel/seven eleven". Dia meminta kami untuk menukarkan uang di sevel, tapi sewaktu saya mau berjalan ke arah yang dia tunjuk, saya sama sekali tidak melihat adanya sevel di depan. Kami kembali bingung sampai kami mengganti ide menjadi membayarkan tiket masuk ke Wat Pho terlebih dahulu, baru kembaliannya kami bayarkan ke si supir tuk-tuk. Sewaktu kami mau turun dan masuk untuk membeli tiket, si supir terlihat marah sambil mengatakan kata-kata yang kami tidak mengerti (lagi). Dia mengeluarkan uang yang dia punya. Dia mencoba memberitahu kami, "Saya tidak ada kembalian, kalo mau kembaliannya kurang silakan ambil saja". Lalu kami mencoba untuk menjelaskan ide kami tapi dia tidak mau menerimanya dan hanya mau kami untuk mengikuti ide dia sambil menyuruh kami untuk masuk ke dalam tuk-tuknya. Kami pun mengikuti apa yang dia coba katakan. Ternyata dia mengantarkan kami ke sevel yang terdekat. Letak sevel tersebut memang tidak terlihat dari posisi kami sebelumnya karena memang berjarak sekitar 100-200 m dan harus belok dulu. Saya pun langsung turun menukarkan uang dan kembali kepada si supir tuk-tuk. Dia masih terlihat kesal sambil menggerutu. Saya memberi dia uangnya dan mengatakan dengan bahasa Indonesia sambil tersenyum "Terima kasih bapak lucu". Kejadian tadi pun membuat kami semua tertawa dan sedikit menghibur kami pada hari itu.
Di dalam Tuk-Tuk |
Berpose sambil menunggu uang receh buat bayar tuk-tuk |
Minta tolong ambil foto ke turis lain tapi fokusnya lupa dijadiin otomatis, jadi beginilah hasilnya. LOL |
Reclining Buddha dilihat dari luar ruangan |
Di dalam vihara |
Asiatique Riverfront
Sebelumnya kami mengira bahwa Asiatique Riverfront ini mirip dengan Clarke Quay di Singapura, tempat orang-orang nongkrong, menikmati makanan dan minuman di cafe-cafe yang tersedia. Setelah kami sampai di tempatnya, perkiraan kami sedikit melenceng. Asiatique Riverfront lebih menyerupai perpaduan antara Paris Van Java, Bandung dan Dufan, Jakarta. Selain terdapat cafe, di tempat ini juga terdapat area perbelanjaan layaknya PVJ dan area bermain seperti gokart dan kincir angin layaknya Dufan. Tempat ini memiliki 9 warehouse (sebutan untuk area). Setiap warehouse memiliki jenis jualan yang berbeda. Dimulai dari restoran sampai jualan aksesoris memiliki warehouse-nya masing-masing.
Area bermain di Asiatique Riverfront |
Area Riverfront |
Bingung memilih makan dimana, kami memutuskan untuk melakukan survey dari tempat makan satu ke tempat makan lainnya dengan melihat menu yang ditawarkan dan harga tentunya. Setelah sekitar 15 menit kami survey, akhirnya kami memutuskan untuk makan di "Wild Orchid restaurant". Salah satu daya tarik restoran tersebut adalah memiliki pelayan yang sangat antusias, bersemangat, baik, dan lucu (dalam artian sebenarnya). Ada beberapa makanan yang kami masih penasaran untuk mencobanya. Salah satunya adalah Pad Thai. Sebenarnya kami sudah mencoba Pad Thai kemarin, tapi rasa dan harganya sangat mengecewakan. Rasanya sangat biasa atau bisa dibilang hambar dan harganya cukup mahal. Selain Pad Thai, kami juga memesan TomYum dan Mapo Tofu.
5 menit berlalu dan makanan akhirnya datang semua. Kami sudah sangat tidak sabar untuk mencobanya. Begitu kami mencoba hidangan yang sudah disajikan oleh pelayan, kami pun sangat terhanyut dalam rasa yang begitu lezat (serius enak banget!!). Tidak ada satupun hidangan yang tidak enak. Harganya juga lebih murah daripada harga makan di pinggir jalan kemarin.
Hidangan makan malam di Wild Orchad Restaurant |
Have a good dinner! |
Setelah puas dengan makan dan belanja, kami pulang dengan menggunakan Uber. Harga Uber disana memang hampir sama dengan harga Uber di Indonesia. Hanya beda mata uang saja. Perjalanan hari kedua pun selesai walaupun tidak semua rencana berjalan dengan baik. Satu hal yang membuat kami senang adalah bukan tentang seberapa banyak tempat di dalam rencana yang berhasil kami kunjungi, tapi seberapa mengasyikan aktivitas yang kami lakukan bersama disana. So, see ya on the third day in Bangkok!!
Foto bersama di kawasan Wat Pho |
Berdoa di dalam kawasan The Reclining Buddha |
No comments:
Post a Comment